Kamis, 19 Mei 2011

KONSEP KEBUTUHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

KATA PENGANTAR


Segala puji adalah bagi Allah yang telah menunjukan kita kepada hal ini, kami tidak akan memperoleh petunjuk kalau sekiranya Allah menunujukan kami akan hal ini.
Shalawat dan salam adalah untuk Rasulullah yang telah diutus oleh Allah untuk menyampaikan syari’at yang pasti, yang lurus dan toleran. Asas syari’at ini adalah kemudahan kepada manusia, penghilangan kesulitan dari mereka. Juga shalawat dan salam untuk para keluarganya, dan sahabat-sahabatnya yang menggantikan Beliau dalam memelihara Syari’atnya dan membimbing umatnya.
Adapun materi makalah Psikologi Perkembangan kami ini merupakan bagaimana Konsep Kebutuhan dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan pada umumnya dan di Indonesia.
Dengan dituliskannya makalah ini, diharapkan kepada semua yang membacanya dapat memahami secara mendalam tentang hal yang berkaitan dengan materi yang di kaji dalam makalah kami ini yang pembahasannya tentang Psikologi perkembangan.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca mengaharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah kami ini pada penulisan selanjutnya.
Demikianlah pengantar yang dapat kami sampaikan, semoga Allah memberi taufik kepada orang yang menghendaki kebenaran, dan menunjukkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.



DAFTAR ISI



I.                  KATA PENGANTAR ……………………………………………
II.               DAFTAR ISI ……………………………………………………...

A.                     PENDAHULUAN ………………………………………….....
B.                      LATAR BELAKANG MASALAH …………….....................
C.                     PEMBAHASAN ………………………………………………
1.  Tujuan Penggunaan Strategi Pembelajaran ………………..
               a). Mengoptimalkan Pembelajaran Pada Aspek Afektif
               b). Mengaktifkan Siswa Dalam Proses Pembelajaran
2.                             Jenis Strategi yang Berkaitan dengan Pembelajaran….…...
               a). Strategi Pengorganisasian Pembelajaran
               b). Strategi Penyampaian Pembelajaran
               c). Strategi Pengelolaan Pembelajaran
3.   Penutup ......................................................................................
4.   Daftar Pustaka…………………………………………….….

 

 

 

KONSEP KEBUTUHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

 

A. Konsep Kebutuhan Individu
Setiap individu memiliki kebutuhan karena ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kondisi fisik dan sosial psikologis yang lebih sempurna dalam kehidupannya. Dengan adanya berbagai macam dorongan yang ingin di capai manusia,semua itu mengakibatkan timbulnya kebutuhan yang harus dipenuhi manusia.

Kebutuhan manusia antara lain :
1)      Kebutuhan primer,pada hakekatnya merupakan kebutuhan biologis atau organik,dan merupakan kebutuhan yang didorong oleh motif asli. Contoh: makan,minum,bernafas,dan papan.
2)      Kebutuhan sekunder,pada umumnya merupakan yang didorong oleh motif yang dipelajari. Contoh: pengetahuan,hiburan,transportasi

B. Kebutuhan Dasar Individu
Menurut Lindgren :
1)      Kebutuhan individu untuk mendapatkan teman sejawat
2)      Kebutuhan individu untuk mengembangkan diri
3)      Kebutuhan individu untuk berhasil
4)      kebutuhan individu untuk mendapat kasih sayang dan cinta kasih.

Lewis, kegiatan remaja didorong berbagai kebutuhan, yaitu:
1)      Kebutuhan jasmaniah
2)      kebutuhan psikologis
3)      kebutuhan ekonomi
4)      kebutuhan sosial
5)      kebutuhan politik

C. Kebutuhan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah dan Pemenuhan
a). Beberapa jenis kebutuhan remaja dapat diklarisifikasikan menjadi:
1. Kebutuhan Organi,yaitu makan, minum,nafas, dan seks
2. Kebutuhan emosional,kebutuhan untuk mendapatkan simpatik
3. Kebutuhan berpertasi
4. Kebutuhan untuk mengembangkan diri

b).  Pemenuhannya:
1. Kegiatan yang dilakukan secara biologis
2. Ikut serta organisasi dan mengambil posisi penting
3. Ikut dalam berbagai macam program

Masalah yang dihadapi Remaja :
a. Upaya untuk mengubah sikap dan perilaku menjadi lebih dewasa
b. Sering mengalami kesulitan untuk menerima fisiknya
c. Dalam memasuki kehidupan bermasyarakat,remaja selalu mendambakan
kemandirian
d. Harapan untuk berdiri sendiri
e. Merasa memiliki norma dan nilai kehidupan yang dirasa lebih sesuai dari pada norma dan nilai yang ada di masyarakat.

D. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis
1. Pengertian Kemandirian
Kemampuan seseorang untuk tidak bergantung kepada orang lain,serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Menurut Robert Havighurt, kemandirian terdiri dari beberapa aspek:
1)      Emosi,kemampuan mengontrol emosi
2)      Ekonomi,kemampuan mengatur ekonomi
3)      Intelektual, Kemampuan mengatasi masalah
4)      Sosial, kemampuan untuk berinteraksi denag orang lain.

2. Proses berkembangnya kemandirian
Kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya,karena segala sesuatu yang diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan semakin berkembang menuju kesempurnaan. Tingkat kemandirian seorang anak itu berbeda karena semakin bertambah usia akan bertambah pula kemampuan anak untuk berfikir secara objektif.

3. Kemandirian sebagai kebutuhan psikologis remaja
Memperoleh kebebasan merupakan suatu tugas bagi remaja. Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukakan oleh Erikson, yang menamakan proses tersebut sebagai”proses mencari identitas ego”. Dalam mencapai kemandirian remaja akan mengalami hambatan yang disebabkan karena masih tergantungnya pada orang lain.

4. Peran orangtua terhadap pembentukan kemandirian remaja
Ada beberapa hal untuk menyikapi pembentukan kemandirian remaja:
1)      Komunikasi,berkomunikasi dengan anak merupakan cara yang efektif untuk menghindari hal yang tidak diinginkan
2)      Kesempatan,orangtua sebaiknya memberi kesempatan kepada anak untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang diambilnya
3)      Tanggung jawab,bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang diperbuat merupakan kunci menuju kemandirian.
4)      Konsistensi,konsisten orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai sejak dini untuk mengembangkan kemandirian.

E. Kepercayaan Diri sebagai Kebutuhan Remaja
1. Pengertian Kepercayaan diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu untuk mengembangkan penilaian positif,baik terhadap diri sendiri maupun orng lain.

2. Karakteristik individu
Karakteristik yang percaya diri
1)      Percaya akan kemampuannya
2)      Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain
3)      Punya pengendalian diri yang baik
4)      mempunyai cara pandang yang positif

Karakteristik kurang percya diri
1)      Menyimpan rasa takut
2)      Sulit menerima realita diri
3)      Takut gagal
4)      Cenderung menolak pujian yang ditunjukan secara tulus.

3. Perkembangan rasa percaya diri
Pola asuh, kepercayaan diri tidak diperolrh secara instan,melainkan melalui proses yang berlangsung sejak dini.
Pola pikir negatif, dalam hidup bermasyarakat,setiap individu mengalami berbagai masalah. Individu yang rasa percaya dirinya lemah selalu memersepsi segala sesuatu dari sisi negatif.

4. Memupuk rasa percaya diri
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang propesional,individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Ada beberapa cara menghadapi krisis percaya diri, yaitu:
1)      Evaluasi diri sendiri secara objektif, belajar menilai diri secara objektif dan jujur.
2)      Beri penghargaan yang jujur terhadap diri, sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang dimiliki
3)      Positive thinking, cobalah memerangi setiap asumsi,prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak kita
4)      Gunakan Self-affirmation, yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri.
5)      Berani mengambil resiko, memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi,tidak perlu menghindari melainkan menggunakan strategi.

F. Implikasi Pemenuhan Kebutuhan Remaja Terhadap Pendidikan
Pemenuhan kebutuhan fisik atau organik merupakan tugas pokok. Kebutuhan ini harus di penuhi karena merupakan kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan agar tetap tegar.
 Untuk mengembangkan kemampuan hidup bermasyarakat dan mengenalkan berbagai norma sosial,amat penting dikembangkan.




KESIMPULAN
  1. Proses pendidikan merupakan proses yang sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik yang sempurna baik dalam segi pengetahuan, perasaan, dan perbuatan agar menjadi manusia yang sempurna.
  2. Tujuan pendidikan anak MI bertujuan untuk memberikan bekal pada peserta didik dalam menerima proses pendidikan selanjutnya, oleh karena itu proses pendidikan harus di sesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak MI agar peroses pendidikan dapat berimplikasi terhadap proses pendidikan yang telah dilaksanakan.
  3. Perkembangan anak terhadap penyelenggaraan pendidikan di MI akan berimplikasi terhadap perkembangan anak MI yang terdiri dari :
  • Perkembangan fisik motorik
  • Perkembangan sosial
  • Perkembangan kognitif
  • ff Perkembangan emosi
  • Perkembangan bahasa
  • Perkembangan moral
  • Perkembangan agama



E. PENUTUP

Demikianlah penulisan makalah ini yang disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan pada semester empat program studi PAI 4 C. Tentu saja masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan sehingga untuk kesempurnaan penulis berharap mendapat masukan dari pembimbing maupun teman-teman.

Saya DEKAWAN SAPUTRA sebagai penulis makalah ini tentang Konsep Kebutuhan dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, dan dengan makalah ini kami manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Crain, William C. 1980. Theories Of Development: Concept and Applications. New Jersey: Prentice-Hall
Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta. Raja Grafindo Persada
Sagala, Saiful. 2007. Konsep dan Maksna Pembelajaran. Bandung. Alfabeta, Syamsudin, Abin Makmun. 1996. Psikologi Kependidikan, Bandung, Rosda Karya
Yusuf, Samsyu. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung. Rosda Karya.

Selasa, 10 Mei 2011

MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN


Makalah Strategi Belajar Mengajar (CTL)


I. PENDAHULUAN
Sebagai negara yang menempatkan pendidikan pada posisi penting maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak mendapatkan pendidikan. Dengan demikian ini ditujukan bagi warga negara laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan negara memiliki sikap kesetaraan terhadap warga negaranya.
Penyikapan oleh negara tersebut belum cukup dirasakan utuh pada tataran praksis. Dunia pendidikan cenderung masih merupakan dunia laki-laki dan menyisakan sedikit tempat untuk perempuan. Masih nampak adanya pemiskinan kesempatan dalam menempuh pendidikan. Di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, gejala itu dapat dilihat dari pemberian prioritas utama kepada anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan tinggi, pada keluarga yang memiliki anak perempuan dan laki-laki. Nampak terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, yaitu adanya perlakuan yang tidak berimbang antara kedua kelompok gender. Perlakuan yang ditunjukkan sebagaimana di atas disebut bias gender. Adapun dalam pelaksanaan pendidikan formal, pada aras kelas, bias gender terjadi pada materi ajar maupun dalam proses belajar mengajar. Bias tersebut juga terdapat pada materi ajar, dapat dilihat dalam buku-buku pelajaran, munculnya pada ilustrasi, baik dalam ilustrasi maupun narasi. Umumnya penulis menggambarkan perbedaan dari keduamya dalam peran, fungsi, kedudukan, dan tanggung jawab. Selain itu adanya kecenderungan guru untuk menempatkan posisi siswa laki-laki lebih tinggi dari siswa perempuan. Padahal, pendidikan seharusnya memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memperoleh posisi yang sejajar, dengan mengacu pada usaha, kerja keras dan bukan atas dasar hak istimewa. Oleh karena itu, materi ajar yang dikemas dalam buku-buku pelajaran, dan begitu juga pelaksanaan belajar mengajar dikelas harus berwawasan gender.
Untuk dapat menghasilkan buku ajar yang berwawasan gender, dan merancangserta melaksanakan belajar mengajar di kelas, para guru memerlukan suatu rambu-rambu yang dapat berfungsi sebagai pedoman baginya untuk menulis bahan ajar dan merancang kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender. Untuk itulah diperlukan upaya melakukan pengembangan suatu bentuk Rambu-rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender. Kegiatan inilah yang dilakukan dalam penelitian ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan melalui berbagai tahap sebagai berikut: Studi Pendahuluan, Penyusunan Draft Awal, Uji Ahli, Penyusunan Draft Kedua, Uji Coba Lapangan, dan Penyusunan Draft Akhir.

II. TEORI
A. Konsep Gender
Istilah Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat) dan yang mana gender.
Penanaman konsep gender dilakukan sebagai pengetahuan juga berupa penanaman sikap. Sehingga gendering merupakan konstruksi sosial-psikologis berarti secara historis dan budaya. Oleh karena itu mengimplementasikan gender pada bahan ajar bagi siswa perlu disajikan penanaman pengetahuan dan sikap mengenai hal-hal yang paling dekat dengan lingkungannya.
Penanaman pengetahuan yang baru dan pembentukan sikap gender memerlukan langkah-langkah yang berbeda dengan pengetahuan lainnya mengingat gender merupakan suatu pemaknaan budaya yang telah melekat di masyarakat.
Fenomena adanya bias gender dapat tampil dalam bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender, seperti : a. marjinalisasi (pemiskinan), b. subordinasi (penomorduaan), c. pandangan streotipe, d. kekerasaan, e. beban kerja (Simatauw M. dkk, 2001).

B. Teori Belajar
Untuk mendorong terjadinya strategi belajar yang dianjurkan aliran konstruktif, dapat dilakukan pembelajaran melalui beberapa metode seperti :

1. Pembelajaran Induktif.
Hilda Taba mengembangkan model mengajar, dimana ia mengemukakan strategi mengajar yang meningkatkan kemampuan para siswa untuk menangani informasi. Model mengajar ini dikembangkan dengan asumsi bahwa dalam mengajar, situasi kelas merupakan kerjasama dari sejumlah kegiatan siswa.
Model pembelajaran seperti ini dinilai dapat digunakan sebagai pengenalan pengalaman baru. Konsep gender bagi siswa pada saat masih merupakan konsep baru yang belum banyak dikenal oleh siswa.

2. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran ini merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pembelajaran ini mempunyai enam unsur kunci seperti : pembelajaran bermakna, penerapan pengetahuan, berpikir tingkat yang lebih tinggi, kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, responsive terhadap budaya dan penilaian autentik (University of Washington, 2001).
Model pembelajaran ini dinilai sangat tepat untuk digunakan sebagai pengenalan konsep ketidaksetaraan, marginalisasi, diskriminasi, dan streotipe dapat dikembangkan saat pembelajaran.

3. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran ini cenderung mengacu pada belajar kelompok siswa, dengan menggunakan empat pendekatan : a). STAD, pembelajaran dilakukan dengan melibatkan siswa secara heterogen, mereka perlu bekerjasama menyelesaikan tugas-tugasnya, diskusi, setiap minggu ada penilaian, diumumkan tim-tim dengan skor tinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi artinya perlakuan yang diberikan adil baik kepada siswa laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. b). Jigsaw, cara ini tanpa melihat jenis kelamin memiliki kesempatan belajar bagian tertentu dari materi ajar dan sama-sama memiliki tanggungjawab kepada temannya untuk mentransformasi isi dari pelajaran yang telah dipelajarinya. c). Investigasi Kelompok, model pembelajaran ini memerlukan cara yang mengajarkan siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik, serta norma dan struktur kelas yang lebih rumit. Siswa dikelompokkan dengan kawannya yang cenderung memiliki minat yang sama, kemudian memilih topik yang ingin diselidiki, selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikannya. d). Pendekatan struktural, cara ini memiliki kemiripan dengan cara lain hanya saja ia dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Ada struktur yang dikembangkan untuk perolehan isi akademik, ada yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok.

4. Proses Belajar Mengajar
PBM tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu; guru, siswa dan bahan ajar. Ahli lain menyatakan proses belajar merupakan interaksi antara berbagai unsur, dengan unsur utama adalah siswa, kebutuhan sebagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan faktor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya.

C. Perkembangan Siswa
Perkembangan siswa ditinjau dari rentang usia SD/MI, sampai dengan SLTA/MA.. Umumnya para ahli perkembangan melihat dari segi aspek perkembangan setiap masa itu mencakup perkembangan; fisik, kognitif (terutama ini), emosi, sosial, moral dan kepribadian. Khusus pada penelitian ini yang dibahas adalah perkembangan kognitif, sehingga dapat diperkirakan kesanggupan mereka menangkap berbagai konsep dalam hal ini konsep yang berwawasan gender.

D. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum ini merupakan merupakan kajian ulang terhadap kurikulum 1994. KBK berorientasi pada a) hasil dan implikasi yang diharapkan pada diri siswa melalui serangkaian pengalaman belajar dan b) keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum ini memiliki 9 prinsip dan salah satu prinsipnya adalah “kesamaan dalam memperoleh kesempatan” . Mengingat kurikulum merupakan pijakan global maka masih dibutuhkan rambu-rambu untuk menerjemahkannya menjadi bahan ajar, dalam hal ini pedoman yang dirancang untuk memudahkan guru dalam menulis bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar yang berwawasan gender.

E. Materi Bahan Ajar
Salah satu wujud dari bahan ajar/materi bahan ajar adalah buku pelajaran, dan menurut Cunnings buku merupakan komponen yang sangat penting disamping guru dan siswa. Perangkat buku pelajaran itu terdiri dari 3 komponen, yaitu buku siswa, buku guru dan buku kerja siswa. Buku pelajaran memiliki fungsi yang meliputi ; sumber yang disajikan, untuk kegiatan siswa, sebagai acuan siswa ketika belajar, dorongan untuk berkegiatan di kelas, perwujudan silabus, sebagai sumber dalam tugas mandiri, bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman. Topik dan bahan dalam buku pelajaran harus memiliki wacana yang dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya dan kehidupan siswa sehingga menarik minat siswa. Bahan yang kontekstual dan mengandung topik yang menarik mampu memberi informasi, tantangan, dorongan memperkaya pengalaman, meningkatkan kepekaan bathin dan sosial, mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan kemampuan untuk memperhitungkan, serta meningkatkan keberanian siswa dalam mengambil keputusan.

F. Evaluasi Pembelajaran.
Dalam rangka menjaring hasil kerja siswa, maka pelaksanan penilaian dapat berbentuk, tes tertulias, penampilan (performance), penugasan atau proyek, dan portofolio. Tugas yang diberikan dapat berbentuk tugas individual maupun tugas kelompok. Dalam membuat penilaian yang akurat dan adil guru harus bersikap optimal yaitu : 1) memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja siswa dari sejumlah penilaian yang dilakukan dengan berbagai strategi dan cara, 2) membuat keputusan yang adil terhadap penguasaan kemampuan siswa dengan mempertimbangkan hasil kerja yang dikumpulkan. Guru menetapkan tingkat pencapaian siswa berdasarkan hasil belajarnya pada kurun waktu tertentu dan dalam berbagai rentang situasi.

III. METODOLOGI
Proses pengembangan rambu-rambu penulisan berwawasan ajar dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang tersistematis dengan melalui langkah-langkah dibawah ini :

1. Studi pendahuluan ; merupakan bentuk studi terhadap dokumen dan pustaka atas buku-buku pelajaran dan artikel-artikel lain yang ada dalam Jurnal Perempuan, dengan menggunakan analisis gender. Kesemuanya ditelaah pada uraian materi, bahasa yang digunakan, contoh uraian, serta ilustrasi. Meliputi 6 kelompok mata pelajaran. Mendidkusikan hasil analisis materi bahan ajar dan penelitian, kemudian menyusun laporan hasil studi pendahuluan.

2. Penyusunan Draft I . Berdasarkan studi pendahuluan, tim penyusunan menyusun draft 1 rambu-rambu bahan ajar berwawasan gender, yang terdiri dari 3 bab, yaitu pendahuluan, kajian teoritik serta penulisan bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar.

3. Uji Ahli
Draft yang telah tersusun untuk selanjutnya direview oleh ahli. Review yang dilakukan para ahli bertujuan untuk mengetahui
Ketepatan penulisan. Para ahli melakukan analisis dan koreksi atas draft yang telah disusun, meliputi keterbacaan, muatan gender dan kesesuaian kurikulum. Penganalisaan para ahli yang memiliki kredibilitas di bidangnya masing-masing. Adapun yang dilakukan adalah analisis pada konten, fokus analisis disesuaikan dengan tujuannya.
Alat ukur yang digunakan untuk review adalah dalam bentuk angket terbuka dengan memberi peluang dua pilihan jawaban, yaitu: memadai dan tidak memadai dan diikuti dengan keterangan atau sasaran sebagai penjelasan atas pilihan jawaban yang dibuat oleh ketiga ahli. Review dilakukan pada keseluruhan isi rambu-rambu penulisan yang dihasilkan, meliputi dasar berpikir, landasan konsep teoritis dan
draft 1.

4. Penyusunan Draft II
Berdasarkan koreksi dari tiga ahli, tim penyusun melakukan perbaikan atas draft I, sehingga terjadi beberapa perubahan, dalam hal ini menyangkut isi dari pedoman rambu-rambu berwawasan gender. Hasil revisi ini disebut dengan draft II rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender.

5. Ujicoba Lapangan
Ujicoba selanjutnya adalah ujicoba lapangan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keterterimaan dan kesesuaian rambu-rambu yang telah disusun apabila diterapkan di lapangan. Kegiatan ini dilakukan pada lima propinsi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan. Adapun responden adalah para guru, mulai dari tingkat SD dan/atau MI, SMP/MTs, dan SMU/MA, meliputi mata pelajaran kelompok IPA, IPS, Agama, Kertakes dan Penjaskes. Jumlah responden dengan target 60 orang ternyata beberapa berhalangan pada hari pelaksanaan, sehingga jumlah yang ada 56 orang.
Alat ukur yang digunakan adalah instrumen untuk mengukur tingkat keterterimaan yang dimaksud yakni kejelasan isi rambu-rambu penulisan bahan ajar yang mengacu pada KBK, Wawasan Gender, dan keterbacaan/kejelasan bahasa.
Waktu pelaksanaan ujicoba adalah minggu ke 3 dan 4 bulan September 2003.

IV. H A S I L
Ujicoba di lapangan melibatkan 56 responden yakni guru dari tingkat SD/MI sampai dengan SMA/MA. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pedoman penulisan bahan ajar yang berwawasan gender 91,11% dapat diterima, dengan nilai rerata dari jawaban responden adalah 37, 56%. Adapun substansi yang dinilai dan kriteria penilaiannya, adalah 96% untuk pendahuluan mudah dipahami, 98% menyatakan sistematika penulisan runtut; kerangka penulisan cocok, dapat diterapkan dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 93%, 89%, dan 88% responden; topik hasil belajar penting, dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan dengan 89% dan 95% responden; indikator hasil belajar penting, dapat diterapkan, dan mudah dipahami, masing-masing simpulan itu dinyatakan oleh 95%, 95%, dan 89%; topik tentang materi, penting dan mudah dipahami, masing-masing dinyatakan 89% dan 93%; topik tentang latihan, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, masing-masing 96%, 89%, 88%; topik tentang evaluasi penting, mudah dipahami, dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan 95%, 93% dan 95%; topik kegiatan belajar-mengajar (KBM) penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan dinyatakan 89%, 91%, dan 95%; topik prinsip-prinsip KBM, penting, mudah dan dapat diterapkan, masing-masing dinyatakan oleh 93%, 93%, dan 98%; topik langkah pembelajaran, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan,91%, 98% dan 96%; Topik kegiatan guru, penting, mudah dipahami dan diterapkan di
nyatakan 86%, 95%, dan 96%; topik kegiatan siswa, penting, mudah dipahami, dan dapat diterapkan, dinyatakan 84%, 95%, 95%; gambar dengan penjelasan penyertanya, memadai dinyatakan 91%; ilustrasi naratif, mudah dipahami, dinyatakan 91%; tata letak memadai, dinyatakan 84 %; alur pikir, memadai dinyatakan 88%; sistematika penulisan memadai dinyatakan 88%, ilustrasi memadai dinyatakan 73%;ukuran buku memadai dinyatakan 75%; dan jenis serta ukuran huruf yang digunakan dalam draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender memadai keseluruhan responden menjawab 84% menyatakan ya.
Berdasarkan jenis kelamin responden perempuan 90,99% dan laki-laki 91,22% menyatakan draft rambu-rambu penulisan bahan ajar berwawasan gender baik. Artinya yang dimaksud yakni jelas isinya mengacu kurikulum berbasis kompetensi, dan mengandung wawasan gender; juga dari segi kebahasan
yakni penggunaan bahasanya jelas.
Data berdasarkan wilayah menunjukkan : Jawa Timur 94.46%, Jawa Barat 91.80%, Sulawesi Selatan 90.48%, Sumatra Barat 91.13%, Bali 87.48% responden yang menyatakan baik dan jelas isinya serta kebahasaan yakni penggunaan bahasanya jelas mencakup pilihan kata yang digunakan, sistematika penulisan dengan keruntutan penyampaiannya sehingga mudah dipahami.
Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan draft Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender yang diujicobakan dapat diterapkan untuk digunakan sebagaimana tujuan yang mendasari perancangannya. Namun demikian, perlu diperbaiki dahulu merujuk kepada kritik dan saran-saran dibuat daftar istilah dan definisi/pengertiannya.

V. IMPLIKASI
1. Berdasarkan saran-saran dan kritik di atas untuk selanjutnya dilakukan ;
2. Perbaikan dengan membuat daftar istilah dan definisi/ pengertiannya, yang dimaksud adalah istilah-istilah teknis yang berhubungan dengan KBK serta Wawasan Gender.
3. Dibuat daftar isi untuk menjadi bagian dari Rambu-Rambu Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender produk akhir pengembangan.
4. Perlunya perbaikan tampilan pada proses pencetakan.
5. Sosialisasi Rambu-ramabu ini kepada guru dan penulis bahan ajar. Sekaligus sosialisasi wawasan kesadaran gender dan wawasan KBK kepada guru maupun penulis.
6. Perlunya pelatihan kemampuan penerapan KBM yang mengacu kepada KBK dan Wawasan Gender.
7. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang ditujukan untuk menghasilkan prototipe bahan ajar berwawasan gender untuk tingkat Pendidikan SD/MI,SLTP/MTs, dan SMAUMA.
DAFTAR PUSTAKA

Adam Geralf R. & Gullotta Thomas (1983), Adolencent life experience. California California : Brooks/Cole Publishing Company.
Ardhana, Wayan (1997) “Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik : Pemecahan Masalah Belajar di Abad XXI., Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, di Malang, 26 Juni 1997.
Brooks, J.G. dan Brooks, M.G. (1993). In search of understanding : the case for constructivist classrooms. Alexandria, Va. ; ASCD
Carin and Sun (1985). Teanching Science Through Discovery. Charles Merill Publishing Co Colombus Toronto.
Dahar R.W. (1989) Teori-teori Belajar. Bandung : Penerbit Erlangga
Good, T.L. dan Brophy, J., (1995). Contemporary Educational Psychology. 5th ed. N.Y.: Longman Publishers USA.
Hurlock E. (1991), Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan dari “ Developmental Psychology: A Life-Span Aproach.” 1980. Jakarta : Erlangga.
Hullfish el al. (1981), Reflective Thinking The Method of Education, Ohio
Puskur (2002) Pengembangan Silabus KBK, Jakarta : Litbang Depdiknas.
Puskur (2002) Pelaksanaan KBK, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Litbang Depdiknas.
Puskur Balitbang (2002) Kurikulum Hasil Belajar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, Jakarta : Litbang Depdiknas


PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

Psikologi Perkembangan

Oleh : Dekawan Saputra (Mahasiswa STAIN Kerinci)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan adalah perubahan kearah kemajuan menuju terwujudnya hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Perkembangan memiliki sifat holistik (menyeluruh/kompleks) yaitu : terdiri dari berbagai aspek baik fisik ataupun psikis, terjadi dalam beberapa tahap (saling berkesinambungan), ada variasi individu dan memiliki prinsip keserasian dan keseimbangan.

Perkembangan Individu memiliki beberapa prinsip-prinsip yaitu: Never ending process (perkembangan tidak akan pernah berhenti), Semua aspek perkembangan saling mempengaruhi (aspek emosional, aspek disiplin, aspek agama dan aspek sosial),Perkembnagan mengikuti pola/arah tertentu (karena perkembangan individu dapat terjadi perubahan perilaku yang dapat dipertahankan atau bahkan ditinggalkan)
Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti dan setiap perkembangan memiliki tahapan tahapan yaitu : tahap dikenangkan, tahap kandungan, tahap anak, tahap remaja, tahap dewasa, dan tahap lansia, ada juga yang menggunakan patokan umur yang dapat pula digolongkan dalam masa intraterin, masa bayi, masa anak sekolah, masa remaja dan masa adonelen yang lebih lanjut akan disebut dengan periodesasi perkembangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Periodesasi Perkembangan
Teori Periodesasi perkembangan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) macam yakni
a. Periodesasi yang berdasarkan Biologis
b. Periodesasi berdasarkan didaktis
c. Periodesasi berdasarkan psikologis
2.1.1. Periodesasi perkembangan yang berdasarkan biologis
Periodesasi berdasarkan biologis adalah periodesasi yang pembahasannya berdasarkan pada kondisi atau proses pertumbuhan biologis anak, karena pertumbuhan bilogis ikut berpengaruh terhadap perkembangan kejiwaan seorang anak.
Para ahli yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah :
a) Kretschmer
Kretschmer membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) fase, yaitu:
1. Fullungsperiode I
Yaitu pada umur 0;0 – 3;0. Pada masa ini dalam keadaan pendek, gemuk, bersikap terbuka, mudah bergaul dan mudah didekati.
2. Strecungsperiode I
Yaitu pada umur 3;0 – 7;0. Kondisi badan anak nampak langsing, sikap anak cenderung tertutup, sukar bergaul dan sulit didekati
3. Fullungsperiode II
Yaitu pada umur 7;0 –13;0. Kondisi fisik anak kembali menggemuk
4. Strecungsperiode II
Yaitu pada umur 13;0 – 20;0. Pada saat ini kondisi fisik anak kembali langsing
b) Aristoteles
Aristoteles merumuskan perkembangan anak dengan 3 (tiga) fase perkembangan yakni:
1. Fase I
Yaitu pada usia 0;0 –7;0 yang disebut masa anak kecil dan kegiatan pada fase ini hanya bermain.
2. Fase II
Yaitu pada usia 7;0 –14;0 yang disebut masa anak atau masa sekolah dimana kegiatan anak mulai belajar di sekolah dasar
3. Fase III
Yaitu pada usia 14;0 – 21;0 yang disebut dengan masa remaja atau pubertas, masa ini adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa.
Aristoteles menyebutkan pada periodesasi ini disebut sebagai periodesasi yang berdasarkanpada biologis karena antara fase I dengan fase ke II itu ditandai dengan adanya pergantian gigi, sedangkan antara fase ke II dengan fase ke III ditandai dengan mulai bekerjanya organ kelengkapan kelamin.
c) Sigmund Freued
Freued membagi perkembangan anak menjadi 6 (enam) fase perkembangan yakni:
1. Fase Oral
Yaitu pada usia 0;0 – 1;0. Pada fase ini, mulut merupakan central pokok keaktifan yang dinamis.
2. Fase Anal
Yaitu pada usia 1;0 – 3;0 Pada fase ini, dorongan dan tahanan berpusat pada alat pembuangan kotoran.
3. Fase Falis
Yaitu pada usia 3;0 – 5;0. Pada fase ini, alat-alat kelamin merupakandaerah organ paling perasa
4. Fase Latent
Yaitu pada usia 5;0 – 12/13;0 Pada fase ini, impuls-impuls cenderung berdada pada kondisi tertekan
5. Fase Pubertas
Yaitu pada usia12/13;0 – 20;0 Pada fase ini, impuls-impuls kembali menonjol. Kegiatan ini jika dapat disublimasikan maka seorang anak akan sampai pada fase kematangan
6. Fase Genital
Yaitu pada usia 20 ke atas, Pada fase ini, seseorang telah sampai pada fase dewas.
d) Jesse Feiring Williams
Williams membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) masa perkembangan yakni:
1. Masa Nursery dan kindergarten yaitu, pada usia 0;0 – 6;0
2. Masa cepat memperoleh kekuatan/tenaga, yaitu pada usia 6;0 – 10;0
3. Masa cepat berkembangnya tubuh, yaitu pada usia 10;0 – 14;0
4. Masa Adolesen yaitu pada usia 14;0 –19;0 adalah masa perubahan pola dan kepentingan kemampuan anak dengan cepat.
2.1.2. Periodesasi perkembangan yang berdasarkan didaktis
Periodesasi berdasarkan didaktis adalah periodesasi yang pembahasannya berdasarkan pada segi keperluan/materi apa kiranya yang tepat diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu, serta memikirkan tentang kemungkinan metode yang paling efektif untuk diterapkan di dalam engajar atau mendidik anak pada masa tertentu tersebut.
Para ahli yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah :
a) Johann Amos Comenilus (Komensky)
Komensky membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) tahap, yaitu: 1. Scola Materna (sekolah ibu)
Yaitu pada usia 0;0 – 6;0 Pada fase ini, anak mengembangkan organ tubuh dan panca indra di bawah asuhan ibu (keluarga)
2. Scola Vermacula (sekolah bahasa ibu)
Yaitu pada usia 6;0 – 12;0 pada fase ini, anak mengembangkan pikiran, ingatan, dan perasaannya di sekolah dengan menggunakan bahasa daerah(bahasa ibu)
3. Scola Latina (sekolah bahasa latin)
Yaitu pada usia 12;0 – 18;0 pada fase ini, anak mengembangkan potensinya terutama daya intelektualnya dengan bahasa asing.
5. Academia (akademi) adalah media pendidikan bagi anak usia 18;0 – 24;0
b) Jean Jeaques Russeau
Didalam bukunya yang terkenal yaitu “Emile eu du I’education” Jean Jeaques Russeau membagi tahapan perkembangan anak antara lain:
1. Pada usia 0;0 – 2;0 tahun adalah masa asuha
2. Pada usia 2;0 – 12;0 tahun adalah masa pentingnya pendidikan jasmani dan alat-alat indera.
3. Pada usia 12;0 – 15;0 tahun adalah masa perkembangan pikiran dan masa juga terbatas
4. Pada usia 15;0 – 20;0 tahun adalah masa pentingnya pendidikan serta pembentukan watak, kesusilaan juga pembinaan mental agama
c) Dr. Maria Montessori
Dr. Maria membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) tahap, yaitu:
1. Pada usia 1;0 – 7;0 adalah masa penerimaan dan pengaturan rangsangan dari dunia luar dari alat dria.
2. Pada usia 7;0 – 12;0 adalah masa dimana anak sudah mulai memperhatikan masalah kesusilaan, mulai berfungsi perasaan ethisnya yang bersumber dari kata-kata hatinya dan dia mulai tahu kebutuhan orang lain
3. Pada usia 12;0 – 18;0 adalah masa penemuan diri serta kepuasan terhadap masalah-masalah sosial.
4. Pada usia 18;0 – 24;0 adalah masa pendidikan di perguruan tinggi, masa melatih anak akan realitas kepentingan dunia. Ia harus mampu berfikir secara jernih, jauh dari perbuatan yang tercela.
d) Charles E. Skinner
Skinner membagi perkembangan anak menjadi Prenatal Stages dan Postanal Stages dengan perincian sebagai berikut :
1. Prenatal Stages
Ø Germinal : a fortnigh after consepsion (saat perencanaan)
Ø Embryo : Dari Consepsion sampai pada 6 bulan
Ø Fetus : Dari 6 bulan sampai ia lahir ke dunia
2. Posnatal stage
Ø Parturate : Pada saan ia lahir kedunia sampai pada
Ø Neonate : 2 Bulan pertamasetelah anak lahir kedunia
Ø Infant : 2 tahun pertama setelah anak lahir ke dunia
Ø Preschool child : Pada usia 6;0 – 9;0 tahun
Ø Intermediate School : pada usia 9;0 –12;0 tahun
Ø Junior Hight School : Pada Usia 12;0 – 19;0 tahun
2.1.3. Periodesasi perkembangan yang berdasarkan Psikologis
Pada pembagian ini para ahli membahas gejala perkembangan jiwa anak, berorientasi dari sudut pandang psikologis, mereka tidak lagi mendasarkan pada sudut pandang biologis ataupun didaktis. Sehingga para ahli mengembalikan masalah kejiwaan dalam kedudukan yang murni.
Para ahli yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah :
a) Oswald Kroh
Kroh berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan jiwa anak berjalan secara evolutiv.Dan pada umumnya proses tersebut pada waktu-waktu tertentu mangalami kegoncangan (aktivitas revolusi), masa kegoncangan ini oleh Kroh disebut ‘Trotz Periode’,dan biasanya tiap anak akan mengalaminya sebanyak dua kali, yakni trotz I sekitar usia 3/4 tahun. Trotz II usia 12 tahun bagi putri dan usia 13 tahun bagi laki-laki.
Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Dari lahir hingga trotz periode I disebut sebagai masa anak awal (0;0 – 03;0/04;0)
2. Dari Trotz periode I hinga Trotz periode II disebut masa keserasian bersekolah (03;0/04;0 – 12;0/13;0)
3. Dari trotz periode II hingga akhir masa remaja disebut masa kematangan (12;0/13;0 – 21;0)
b) Charlotte Buhler
Charlotte membagi perkembangan anak menjadi 5 (lima) fase, yaitu :
1. Fase I (0;0 – 1;0), Pada fase ini perkembangan sikap subyektif menuju obyektif,
2. Fase II (1;0 – 4;0), Pada fase ini makin meluasnya hubungan pada benda-benda sekitarnya, atau mengenal dunia secara subyektif.
3. Fase III (40 – 8;0), Pada fase ini individu memasukkan dirinya kedalam masyarakat secara obyektif, adanya hubungan diri dengan lingkungan sosial dan mulai menyadari akan kerja,tugas serta prestasi.
4. Fase IV (8;0 – 13;0), Pada fase ini mulai munculnya minat ke dunia obyek sampai pada puncaknya, ia mulai memisahkan diri dari orang lain dan sekitarnya secara sadar
5. Fase V (13;0 – 9;0) Pada Fase ini, nulai menemukan diri yakin shyntesa sikap subyektif dan obyektif
2.1.4. Gabungan dar ketiga kelompok oleh PH. Kohnstamm
Ia menyebutnya pandangan itu secara flectis, walaupun nampaknya lebih berorientasi pada dasar psikologis, yaitu :
1. 0;0 – 2;0 disebut masa vital
2. 2;0 – 7;0 disebut masa Esthetis
3. 7;0 – 12;0/13;0 disebut masa perkembangan intelektual
4. 12;0/13;0 – 20;0 disebut masa sosial
Pembagian terakir ini masih dapat diuraikan lagi menjadi :
1. 12;0 –14;0 = Masa Pural
2. 14;0 – 15;0 = Masa prapubertas
3. 15;0 – 18;0 = Masa Pubertas
4. 18;0 – 21;0 = masa adolesen
2.1.5. Tinjauan perkembangan anak global oleh Robert j. Havigurst
Robert meninjau perkembangan anak global yakni sebagai berikut:
1. 0;0 – 6;0 masa infacy and early childhood
2. 6;0 – 12;0 masa midle childhood
3. 12;0 – 18;0 masa preadolescense and adolesence
4. 18;0 – 35;0 masa early adulthood yang terbagi atas early adulthood (18;0 – 21;0), adulthood (21;0 – 35;0)
5. 35;0 – 60;0 masa middle age
6. 60;00 – ke atas masa later life.
BAB III
KESIMPULAN
4.1. Simpulan
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan diatas, maka dapat muncullah pertanyaan manakah kiranya yang dianggap paling baik?
Dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata semua konsep atau teori yang telah di ungkapkan itu memiliki kebaikan dan kelemahannya masing-masing seperti tinjauan biologis itu akan terasa bermanfaatbagi anak-anak yang berumur di bawah 5 (lima) tahun dan tinjauan psikologis terasa baik sekali untuk manganalisa anak umur 5 (lima) tahun, di sampingteori-teori tersebutpun terdapat keterkaitan yang tidak perlu dipersoalkan.
Dengan demikian teori-teori tersebut dapat diterapkan menurut situasi dan kondisi serta kepentingan dari pemakai.